Channelindonesia.id – Hari ibu dilaksanakan pada tanggal 22 Desember sesuai dengan dekrit presiden Soekarno Nomor 316 Tahun 1959 sebagai bentuk penghargaan terhadap perjuangan perempuan.
Perempuan memegang peran yang sangat krusial dalam membentuk corak bagi masa depan bangsa, dengan menyiapkan berbagai model Pendidikan bagi seorang anak sebagai madrasatul ula.
Oleh karena itu perempuan memiliki tanggung jawab yang sangat besar serta penuh dengan perjuangan. Atas seluruh tanggung jawab dan perjuangan perempuan di dunia, sudah selayaknya mendapatkan perhargaan atau pencapaian harapan-harapan atas anaknya.
Layaknya, setiap perayaan hari-hari nasional ataupun internasional adalah momentum untuk merefleksikan sebuah perjuangan, pengorbanan ataupun penganugerahan atas capaian yang telah diperoleh.
Misalnya dengan momentum hari raya Idul Fitri umat Islam berharap agar kembali kepada jiwanya yang fitrah (suci), setiap tanggal 17 Agustus dikibarkan sang saka merah putih sebagai momentum untuk merayakan kemerdekaan sekaligus mengenang jasa para pahlawan.
Pada tanggal 22 Desember yang ditetapkan sebagai hari ibu, selain sebagai momentuk mengenang jasa serta pengorbanan, apakah sudah ada yang bisa diberikan atau harapan seorang ibu sudah kita tunaikan?
Setidaknya, untuk sedikit menjawab pertanyaan tersebut dibutuhkan sebuah dasar kebenaran baik dalam perkataan ataupun tindakan seorang anak terhadap seorang ibu. Dasar kebenaran yang digunakan dalam tulisan ini yaitu teori-teori kebenaran dalam filsafat.
Teori kebenaran yang dimaksud adalah teori kebenaran Korespondensi, teori kebenaran pragmatis serta kaitannya dengan wahyu. Pembuktian atas keempat teori ini akan memberikan makna tersendiri bagi ungkapan “Selamat hari ibu…!”
Teori korespondensi mengemukakan bahwa dasar atau standar sebuah kebenaran adalah apabila konsep atau ungkapan sesuai dengan fakta empirik. ungkapan atas segala perasaan seorang anak terhadap ibu akan bernilai benar apabila dibuktikan dengan fakta empirik bukan sekedar ucapan.
Disamping adanya wahyu yang menyerukan tentang bakti kepada orang tua atau birr al-walidain. Rasulullah bahkan memerintahkan para sahabat untuk berjihad kepada ibu mereka. Al-Atsqalani menjelaskan bahwa jihad yang dimaksud adalah bersungguh-sungguh untuk berbuat bait kepada ibu serta tidak menyakitinya.
Lebih lanjut Al-Jauzi menempatkan ibu pada posisi pertama dalam struktur hirarki berbuat baik serta kebaikan bersedekah.
Selanjutnya adalah teori pragmatis yang mengemukakan bahwa sesuatu dianggap benar apabila bisa memberikan nilai manfaat.
Dalam konteks “hari ibu” teori ini setidaknya menjadi bahan renungan bagi setiap anak. Salah satu harapan terbesar bagi orang tua adalah agar anak-anaknya menjadi anak shaleh dan Sholehah. Dengan tercapainya harapan tersebut itu secara tidak memberikan manfaat yang yang besar karena salah satu amalan yang tidak terputus atau amal jariyah adalah doa anak yang shaleh terhadap orang tuanya.
Penulis Opini: Zulfikar T