ChannelIndonesia.id, – Thrifting atau membeli pakaian bekas dari luar negeri kini telah menjamur dikalangan masyarakat indonesia, selain murah kualitas pakaian bekas yang dijual dipasaran juga relatif murah.
Hingga saat ini Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Import barang bekas dari luar negeri menunjukkan angka tertinggi pada tahun 2019, senilai US$6,08 juta dengan volume 392 ton. Pada tahun berikutnya, import barang bekas mengalami penurunan sebanyak 87,5% yakni 64 ton pada tahun 2021, dan data terbaru 2021 menunjukkan angka terendah sebanyak 8 ton.
Melihat data tersebut merupakan angka yang cukup besar. Kendati demikian, pemerintah telah melarang import barang bekas melalui Peraturan menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7 dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Dalam peraturan tersebut dikemukakan larangan import barang bekas dari luar. Namun, belum ada regulasi yang jelas ketika barang tersebut telah berada di Indonesia dan kemudian di distribusikan atau diperjual-belikan dipasaran.
Terkait aturan tersebut, kami melakukan wawancara dengan Indriani (bukan nama sebenarnya) yang merupakan penjual sekaligus penadah pakaian bekas di daerah Hertasning kota Makassar. Dia mengungkapkan bahwa telah mengetahui tentang larangan import barang bekas dari luar negeri tetapi tetap melakukan penjualan tersebut karena keuntungan yang ditawarkan cukup menggiurkan.
“Misalnya kita beli dalam 1 bal harganya itu 5 juta isinya itu ada yang 300 lembar ada juga 350 lembar. Kita jual misalnya 150 lembar sudah kembali modal Berarti selebihnya itu untung,” tuturnya.
Lalu bagaimana sebenarnya barang bekas tersebut bisa masuk ke Indonesia?
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan barang bekas tersebut merupakan barang selundupan yang sebagian besar melewati Pelabuhan Klang Malaysia. Baju-baju bekas tersebut diimport dari negara yang memiliki perekonomian relatif lebih baik dari indonesia.
Selain itu negara-negara yang mengimport baju bekas ballpress tersebut merupakan negara dengan 4 jenis musim sehingga selalu berganti pakaian atau bahkan membuangnya.
“Banyak ballpres karena di negara dengan 4 musim itu mereka selalu berganti model dan jenis baju. Begitu pergantian terjadi yang lama tidak seperti kita, mereka biasanya langsung membuang,” jelas Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi dilansir dari liputan6.com.
Meskipun dilarang, pintu masuk pakaian bekas sangatlah banyak dan masuk melalui jalur laut dari pelabuhan-pelabuhan kecil kemudian di distribusikan melalui gudang besar. Di Makassar sendiri, Indriani menyebut pakaian bekas itu ia beli melalui seseorang di Pasar burung-burung daerah toddopuli, kota Makassar. ia juga mengungkapkan banyaknya ekonomi masyarakat yang terbantu dengan adanya penjualan pakaian bekas.
“Banyak orang yang dulunya rumahnya sederhana reot-reot, tidak punya rumah sekarang Alhamdulillah dari hasil begini bisa beli mobil, beli rumah,” jelasnya.
Lalu, apa dampak yang ditimbulkan pakaian bekas dari luar negeri?
Menurut jurnal yang diterbitkan oleh Industrial Research Workshop and National Seminar [agustus, 2021], membagi risiko yang diterima konsumen pakaian bekas menjadi empat dimensi yaitu dari segi fungsi barang kurang maksimal, indikasi risiko estetika pada produk, risiko kebersihan yang belum terjamin dari pengguna sebelumnya, dan terakhir risiko sosial atau penilaian negatif yang akan dikemukakan oleh orang lain.
Dikutip dari Kompas, adanya import barang bekas bisa merugikan industri dalam negeri dan juga Industri Kecil menengah (IKM) yang bergerak dibidang tekstil atau konveksi karena dengan harga yang relatif murah, maka orang tidak akan berfikir dua kali.
Dulu, target pasar dari barang bekas ini yaitu kaum menengah kebawah yang hanya dibandrol dari harga puluhan ribu, namun sekarang sudah beredar dipasaran fenomena penjualan barang senilai ratusan hingga jutaan ribu. Hal ini kemudian berdampak buruk bagi kaum menengah ke bawah yang merupakan target pasar utama dari pakaian bekas.
Dengan tersapu habisnya pakaian layak oleh kaum menengah ke atas, mereka hanya diberikan dua opsi: membeli pakaian layak dengan harga mahal atau membeli pakaian sisa yang kurang layak. Selain itu, barang bekas dapat memicu konsumsi yang berlebih dengan melihat banyaknya idola baik influenser atau youtuber yant memamerkan hasil hunting thrifting mereka. Sehingga hal itu bisa menstimulus untuk khalayak membeli pakaian bekas dengan jumlah yang besar.
Bagaimana solusi dari import barang bekas ini?
Sebagai warga negara yang patuh hukum, haruslah tunduk dengan aturan dan regulasi yang diterapkan pemerintah. Barang bekas yang masuk dari luar negeri secara gelap tanpa melalui administratif merupakan tindakan penyelundupan yang tertuang dalam Pasal 102, Pasal 102 A dan Pasal 102 B Undang-Undang Kepabeanan.
Penulis: Ario Prasetyo Rusman