Channelindonesia.id – Berdasarkan data dari Sekretaris Wilayah Komisi Perempuan Indonesia (KPI) Sulawesi Selatan Marselina May, menunjukkan pada tahun 2020, pernikahan oleh orang yang berusia anak di Sulawesi Selatan mencapai angka 11,25 persen. Angka di atas angka nasional, yaitu 10,35 persen.
Sedangkan data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPPA-Dalduk KB) Provinsi Sulawesi Selatan mencatat bahwa pada 2021 ada 3.713 peristiwa perkawinan anak di Sulsel. Dengan rincian, 3.183 perempuan dan 530 laki-laki.
Seiring dengan hal di atas, pada ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), maka perkawinan anak merupakan bagian dari kualifikasi tindak pidana.
Hal itulah yang mendorong tim pengabdian Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH-Unhas) untuk melakukan kegiatan Penyuluhan Hukum dengan tema “Penyuluhan Hukum Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pemaksaan Perkawinan di Kelurahan Bontomatene, Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep” yang dilaksanakan pada Senin, 6 Maret 2023 di Kantor Kelurahan Bontomatene, Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep.
Kegiatan tersebut merupakan tindak lanjut dari Pengabdian Kepada Masyarakat Program Kemitraan-Universitas Hasanuddin (PKM PK-Unhas) tahun 2023.
Tim tersebut terdiri dari Dosen FH-Unhas dengan ketua tim yakni Dr. Nur Azisa, S.H., M.H., dan anggota Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H., M. Aris Munandar, S.H., M.H., dan Ismail Iskandar, S.H., M.H. Serta dua orang mahasiswa yakni Fhildzha Zafirin dan Nurul Hikmah.
Acara dibuka secara resmi oleh Lurah Bontomatene, Bapak Hamka, S.IP., M.Si. Dalam sambutannya ia mengapresiasi setinggi-tingginya kegiatan penyuluhan itu karena dapat menambah wawasan masyarakat terkait tindak pidana kekerasan seksual.
“Kami sangat berterima kasih atas program penyuluhan hukum yang dilakukan oleh tim pengabdian Unhas. Hal ini merupakan kegiatan yang bernilai positif, karena dapat memberikan pemahaman yang luas kepada masyarakat setempat mengenai pentingnya mencegah tindak pidana kekerasan seksual,” ungkapnya.
Lebih lanjut ia juga menambahkan bahwa semoga program semacam itu dapat kembali dilakukan agar masyarakat dapat sadar mengenai pentingnya ketaatan hukum.
Dr. Nur Azisa selaku ketua tim pengabdian dalam laporannya ia menuturkan bahwa kegiatan ini merupakan rangkaian Dies Natalis Unhas yang ke 67. Serta dapat membantu pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dalam perlindungan Anak.
“Penyuluhan hukum yang kami lakukan bertujuan untuk melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi yakni pengabdian. Di mana, hal ini juga sebagai rangkaian Dies Natalis Unhas yang ke 67. Penyuluhan hukum terkait pencegahan tindak pidana kekerasan seksual ini juga diharapkan bisa menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya mencegah pemaksaan perkawinan khususnya bagi Anak. Sebagaimana tugas Pemerintah melalui Dinas terkait,” tuturnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, semoga masyarakat dapat menaati hukum yang ada agar tercapai masyarakat yang sadar hukum.
Hadir sebagai narasumber dalam penyuluhan tersebut, Bapak Alimuddin, S.E. selaku Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Pangkep. Serta Ibu Arnita Pratiwi Arifin, S.H., LL.M. selaku Dosen Departemen Hukum Pidana FH-Unhas.
Alimuddin dalam pemaparannya menjelaskan mengenai pentingnya mencegah perkawinan bagi Anak.
“Kategori Anak adalah setiap orang yang belum berumur 18 tahun termasuk Anak dalam kandungan. Salah satu dampak perkawinan Anak adalah berpotensi terjadi Stunting. Sehingga sangat diharapkan masyarakat sadar akan hal itu. Bahkan dengan usia Anak, mereka masih labil dalam hal mengelola emosi, sehingga sangat rentan terjadi perceraian dini,” paparnya.
Ia juga melanjutkan penjabaran terkait data permohonan perkawinan Anak melalui Dispensasi di Kabupaten Pangkep pada tahun 2022 yang mencapai 185 permohonan.
Di lain sisi, Arnita Pratiwi Arifin menjelaskan mengenai ketentuan pidana tindak pidana pemaksaan perkawinan.
“Dasar hukum tindak pidana pemaksaan perkawinan diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Ada tiga jenis tindak pidana pemaksaan peerkawinan, yakni perkawinan Anak, pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya, dan pemaksaan perkawinan Korban dengan pelaku perkosaan,” ucapnya.
Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa orang yang membiarkan terjadinya tindak pidaan pemaksaan perkawinan tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Acara tersebut dihadiri kurang lebih 50 orang masyarakat setempat dan beberapa pejabat Kantor Kelurahan Bontomatene.
Citizen Report : M Aris Munandar