Gastrokolonialisme dan Pergeseran Kultur Pangan Masyarakat

0
262

Penulis : Sri Hanipah, Ratu Bukis Ramli

Channelindonesia.id – Akhir-akhir ini masyarakat mulai mengeluh tentang harga beras yang melambung tinggi. Salah satu faktornya disebabkan oleh fenomena ekstrem El Nino, yang puncaknya terjadi pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2023.

Beras menjadi langka, bahkan dilansir dari laman Badan Pangan Nasional, keadaan ini memicu isu kiamat beras sehingga menimbulkan kekhawatiran bagi seluruh pihak.

Meskipun demikian, Kepala Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) menyatakan bahwa hal tersebut tidaklah benar karena pemerintah selalu berupaya memberikan yang terbaik kepada masyarakat.

Penyamaan swasembada beras dengan ketahanan pangan telah menjadi paradigma masyarakat sejak dahulu. Ketersediaan beras di Bulog menjadi parameter ketahanan pangan di level Provinsi maupun Kabupaten.

Beras menjadi dominasi pangan di Indonesia, yang dapat terlihat dari total konsumsi nasional setiap tahunnya. Pada tahun 2022 misalnya, jumlah beras yang dikonsumsi masyarakat Indonesia sebanyak 81,044 kg per kapita atau sekitar 31,54 juta ton, yang meningkat 184,50 ribu ton (0,59%) dibandingkan tahun 2021.

Sementara pada tahun 2023 jumlahnya mengalami sedikit penurunan 2,05 % atau sekitar 30,90 juta ton yang dikonsumsi oleh masyarakat. Berbeda halnya dengan komuditas pangan strategis lainnya, seperti jagung, sagu, atau umbi-umbian.

Padi seakan menjadi simbol kemakmuran bangsa, bahkan di wilayah-wilayah produsen sagu, jagung, dan umbi-umbian, sepetri di Papua, padi tetap digunakan sebagai simbol daerah. Hal ini seakan menjadi seruan bahwa masyarakat tidak akan kenyang jika tidak makan beras.

Sementara Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, termasuk sumber pangan lokal. Sehingga seakan terjadi gap antara padi atau beras dengan pangan lainnya.

Jika menilik sejenak sejarah kebijakan pangan di Indonesia, lebih dari 300 tahun sejak masa kolonial, harga beras menjadi basis kebijakan pangan dan beras. Pemerintah kolonial Belanda menekan harga buruh bagi investasi pertanian di Nusantara.

Sebab itu, harga dasar pangan dan beras selalu ditekan rendah karena dianggap penting bagi konsumsi keluarga, sehingga harga beras pada masa itu selalu rendah.

Pada masa kepemimpinan Seoharto, beras menjadi daya dukung yang diberikan kepada PNS dan Militer yang juga berdampak pada hasil voting pemilu. Beras dibaptis bukan hanya sebagai barometer ekonomi pembangunan, tetapi juga pada saat yang sama digunakan sebagai alat politik.

Hal yang serupa juga santer terdengar di akhir masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, namun dikemas dengan nama yang berbeda, yakni Bansos.

Terlepas dari beras sebagai alat politik, kebijakan terkait Food Estate sebagai konsep pengembangan produksi pangan yang dilaksanakan secara terintegrasi, baik pertanian maupun peternakan di lahan yang luas menjadi polemik yang cukup epik saat ini.

Peraturan Presiden Nomor 108 tahun 2022 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2023 yang menyebutkan bahwa Program Food Estate menjadi proyek prioritas strategis, termasuk di Kabupaten Merauke, yang saat ini terhambat karena kandungan zat besi tinggi di lahan tersebut.

Proyek ini diaggap sebagai sebuah kegagalan, pasalnya banyak tanah wulayat masyarat yang kemudian diambil untuk dijadikan lahan.

Persoalan lain bahwa masyarakat di Merauke kebanyakan masih mengandalkan alam sebagai sumber mata pencarian, termasuk sumber pangan masyarakat. Sehingga, ketika hutan yang biasa dijadikan lahan berburu terkikis, maka tentu dampaknya akan berimbas pada pemasukan masyarakat.

Keadaan ini tentu mengingatkan kita pada sebuah istilah, yakni gastro-kolonialisme. Jika kolonial dimaknai sebagai penjajah, maka gastro-kolonialisme dapat diartikan sebagai sebuah penjajahan pangan. Keadaan di mana makanan yang diproduksi pabrik dan didistribusikan oleh Perusahaan-perusahaan besar menggantikan sistem pangan tradisional atau etno-pangan masyarakat. Ketika masyarakat yang terbiasa makan sagu, lalu dipaksa untuk mengonsumsi besar secara massif.

Secara tidak langsung Food Estate dapat menjadi salah satu aspek yang menyebabkan keadaan ini terjadi di masyarakat Merauke. Sehingga, perlu dievaluasi Kembali kebijakan pemerintah terkait Food Estate yang akan dijadikan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), apakah kemudian program tersebut memberi banyak dampak postif atau justru hanya menambah daftar kegagalan dari program Food Estate sebelumnya.

Jika berbicara persoalan pangan, bukan hanya tentang produksi dan konsumsi saja melainkan juga membahas aspek-aspek lainnya, seperti ketersediaan, kemudahan akses, dan keamanannya bagi masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Sri Hanipah dan Ratu Bulkis Ramli, dosen Universitas Musamus, terkait perubahan kultur pangan masyarakat akibat gastro-kolonialisme menunjukkan bahwa masalah pangan tidak hanya pada soal produksi dan konsumsi saja, bahkan sampai pada hal yang sederhana seperti mindset.

Tiga kampung di Kabupaten Merauke yang menjadi sampel penelitiannya, yakni Kampung Baidub, Kampung Yanggandur, dan Kampung Payum. Ketiga lokasi tersebut dipilih berdasarkan perbedaan karakteristik kampung.

Kampung Baidub yang dekat dengan perkebukan sawit, kampung Payum dekat dengan pantai, dan Kampung Yanggandur yang berada di kelilingi kampung-kampung lainnya.

Dari hasil wawancara dengan masyarakat sekitar, ditemukan bahwa sagu dan umbi-umbian masih dikonsumsi oleh masyarakat khususnya orang tua dan lansia. Sementara masyarakat usia dewasa mulai menggabungkan antara sagu dan beras sebagai makanan pokok mereka. Berbeda halnya dengan remaja dan anak-anak yang merasa belum kenyang jika bukan makan nasi.

Diungkapkan oleh Amin Kaize, selaku ketua RT Kampung Payum, yang merupakan translokal dari Distrik Okaba, bahwa perpindahan menjadi salah satu faktor penyebab pergeseran kultur pangan masyarakat.

Tete Amin, sapaan akrabnya, mengaku bahwa setelah pindah ke Kampung Payum, ia lebih memilih mengonsumsi beras karena tidak ada pohon sagu yang tumbuh di sekitar pantai. Sementara beras dapat ditemukan dengan mudah di pasar dan harganya pun jauh lebih ekonomis dibandingkan sagu.

Hal serupa juga dirasakan oleh masyarakat di Kampung Baidub, penduduk yang dulunya tinggal dekat dengan pohon sagu, kini harus menempuh perjalanan jauh untuk memangkur sagu.

Selain itu, lahan yang dulunya hutan tempat mereka berburu sebagian besar telah menjadi Perkebunan sawit. Lain halnya dengan masyarakat di Kampung Yanggandur, masyarakat yang dulunya mengonsumsi sagu, perlahan-lahan mulai meninggalkan tradisi mereka.

Sagu dalam perspektif masyarakat, khususnya anak muda di Kabupaten Merauke, seakan sebagai kelas nomor dua setelah beras.

Sagu bukan lagi menjadi makanan yang mudah ditemukan di rumah-rumah masyarakat. Bahkan kebanyakan mahasiswa yang datang dari berbagai pelosok Papua Selatan, tidak lagi dibekali sagu oleh orang tuanya.

Apakah kemudian pergeseran kultur pangan tersebut menjadi masalah besar? Bagi wilayah yang pangan lokalnya memang beras mungkin tidak terlalu berdampak, namun berbeda halnya dengan Kabupaten Merauke yang masyarakatnya masih banyak mengandalkan alam sebagai tumpuan hidup.

Untuk mengubah kultur pangan masyarakat, pemerintah tidak hanya harus terus menerus melakukan subsidi beras, tetapi juga memperhitungkan keberlanjutannya.

Mungkin sudah saatnya pemerintah mulai kembali melirik potensi pangan lokal di Indonesia, sehingga tidak menjadikan beras semata-mata sebagai takaran ketahanan pangan nasional. Tentu saja hal tersebut harus dikaji secara mendalam sehingga tidak tumpang tindih di masyarakat.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini