Oleh : Mustari Tepu
Channelindonesia.id – Sustainable Development Goals (SDG’s) adalah kesepakatan internasional untuk pembangunan berkelanjutan berdasarkan hal azasi manusia dan kesetaraan.
SDG’s memiliki prinsip universal, integratif dan inklusif serta meyakinkan bahwa tidak ada satupun yang tertinggal atau no one left behind.
SDG’s memiliki 17 target dan 169 target yang diharapkan dapat tercapai pada tahun 2030. Beberapa target yang sejalan dengan pembangunan kehutanan adalah penanganan perubahan iklim, ekosistem lautan, dan ekosistem daratan.
Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropis dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Terdapat 22 tipe ekosistem di Indonesia yang tersebar dari darat hingga laut serta menyediakan habitat bagi berbagai spesies.
Wilayah darat Indonesia menjadi rumah bagi populasi 9,7% tumbuhan berbunga, 15% mamalia, 9% reptil, 6% amfibi, 17%persen burung, dan 9% ikan tawar dunia.
Selain itu, wilayah laut Indonesia yang terletak di tengah Segitiga Terumbu Karang (coral triangle) menjadi tempat tinggal bagi populasi 16,6% ikan laut, 28,9% mamalia laut, 56% reptil, dan 10% karang dunia.
Keanekaragaman hayati Indonesia di level genetik juga sangat melimpah, yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber pangan, obat-obatan, energi, dan material.
Keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia berperan penting dalam menciptakan keseimbangan ekosistem, memberikan nilai edukasi, melestarikan budaya, menopang pertumbuhan ekonomi, sumber penghidupan masyarakat lokal, dan menyediakan jasa lingkungan.
Namun, pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia menghadapi tantangan berupa ancaman kehilangan keanekaragaman hayati yang disebabkan dari perubahan tata guna lahan dan laut; pemanfaatan secara tidak berkelanjutan; ketergantungan masyarakat di sekitar area bernilai keanekaragaman hayati tinggi; pencemaran lingkungan; jenis asing invasif; dan perubahan iklim.
Berdasarkan data Badan Informasi Geospasial (BIG), luas hutan Indonesia pada 2022 mencapai 102,53 juta hektare (ha). Angka itu berkurang sekitar 1,33 juta ha atau turun 0,7% dibanding 2018.
Selama 2018-2022, hutan yang hilang paling banyak berada di Pulau Kalimantan. Dalam periode tersebut, pengurangan luas hutan di Kalimantan mencapai 526,81 ribu ha.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi Indonesia 2018-2022, luas hutan berkurang karena berbagai faktor, yaitu peristiwa alam, penebangan hutan, dan reklasifikasi area hutan.
Kerusakan ekosistem dan penurunan jumlah keanekaragaman hayati terus berlanjut. Sebagai contoh, kerusakan laut akibat aktivitas manusia telah menjadi permasalahan dunia.
Menurut data dari Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKN PSL), laut Indonesia memang dapat dikategorikan tercemar.
Pada tahun 2022 tercatat ada 398 juta ton sampah plastik yang mencemari laut Indonesia. Selain sampah plastik, TKN PSL mencatat berbagai jenis sampah lainnya yang mencemari laut, yaitu: Sisa Makanan: 45%, Kayu/Ranting/Daun: 13%, Kertas: 13%, Plastik: 10%, Logam: 10%, kain/Tekstil: 3%, Karet/Kulit: 2%, Kaca: 2% dan lainnya lainnya: 8%.
Aktivitas lain yang merusak laut antara lain illegal fishing, pengambilan terumbu karang untuk bangunan dan aktivitas wisatawan bahari seperti diving dan snorkeling.
Aktivitas merusak tersebut masih mencerminkan rendahnya literasi lingkungan kelautan masyarakat.
Salah satu penyebab rendahnya literasi lingkungan adalah kurangnya edukasi lingkungan kelautan kepada masyarakat untuk menjaga ekosistem laut.
Edukasi lingkungan kelautan ini dapat dilakukan salah satunya dengan memberikan aktivitas pendidikan lingkungan.
Pendidikan lingkungan adalah salah satu cara mengatasi literasi lingkungan. Literasi lingkungan merupakan tantangan utama dalam melindungi ekosistem, melakukan edukasi tentang pentingnya ekosistem yang sehat sangat penting bagi perlindungan keanekaragaman hayati Indonesia.
Salah satu metode efektif dalam pendidikan lingkungan adalah dengan melakukan experiential learning. Pendidikan berbasis pengalaman di lapangan penting untuk disiplin ilmu perilaku, ekologi, evolusi, sistematika, sains, dan ilmu konservasi.
Pendidikan berbasis pengalaman memaksa peserta didik untuk mempertanyakan dan mengevaluasi kembali asumsi mereka tentang bagaimana dunia alami beroperasi.
Peserta didik akan memiliki kesempatan lebih besar untuk memupuk koneksi kritis dari konsep abstrak menjadi realitas nyata. Hal ini akan memberikan dampak positif bagi peserta didik untuk memiliki kemampuan mengambil keputusan dan bertindak ramah lingkungan, peserta didik akan lebih bersahabat terhadap lingkungan agar memiliki prilaku hidup bersih dan sehat.
Pendidikan lingkungan dengan metode experiential learning mampu mengembangkan kemampuan siswa untuk merefleksikan sebelum, selama dan setelah pembelajaran lingkungan, sehingga memiliki keterampilan dalam mengambil keputusan dalam bertindak pro-lingkungan.
Dalam pendidikan lingkungan ini, pengetahuan lingkungan akan dilengkapi dengan pengalaman berinteraksi dengan alam.
Experiential learning memungkinkan siswa untuk membuat hubungan antara teori dan dunia nyata. Hal tersebut diharapkan peserta didik dapat memiliki kepekaan terhadap pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.